Bandar Lampung - Selasa 04 Januari 2025
Langit
pagi di Asrama Haji Rajabasa, Bandar Lampung, tampak cerah ketika ratusan
penghulu dari berbagai daerah berkumpul dalam Musyawarah Wilayah (Muswil) II
Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Provinsi Lampung. Suasana penuh
khidmat oleh semangat diskusi dan kebersamaan. Di antara deretan kursi peserta
paling depan, tampak Drs. H. Azkur, Kepala KUA Mataram Baru, duduk dengan tenang
dan penuh perhatian, mencermati setiap perbincangan yang mengalir. Kesan bagi
para penghulu, pertemuan ini bukan sekadar agenda tahunan, tetapi panggung
untuk merumuskan langkah ke depan dalam menghadapi dinamika perubahan zaman
yang semakin kompleks.
Acara
resmi dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi
Lampung, Dr. KH. Puji Raharjo, S.S, M.Hum. Dalam sambutannya, ia menekankan
bahwa peran penghulu bukan hanya soal administrasi pernikahan, tetapi juga
tanggung jawab moral dalam membangun ketahanan keluarga dan menjaga nilai-nilai
agama di tengah derasnya arus modernisasi. “Muswil ini, katanya, harus menjadi
momentum strategis untuk merancang langkah-langkah konkret yang lebih progresif
bagi profesi penghulu”. Kata-katanya mengalun tegas, membawa semangat baru bagi
setiap peserta yang hadir.
Di
hadapan para penghulu yang memenuhi ruangan, Dr. KH. Puji Raharjo, S.S, M.Hum.,
berdiri dengan elegan. Penuh keyakinan ia mengajak seluruh hadirin yang hadir untuk
merenung lebih dalam tentang makna keberadaan mereka. “Musyawarah ini bukan
sekadar rutinitas organisasi. Ini adalah momentum refleksi, sebuah cermin yang
menampilkan perjalanan kita selama empat tahun terakhir,” ujarnya. Setiap
kata yang meluncur terasa dalam, menyadarkan bahwa profesi penghulu bukan hanya
tentang mencatat akad, tetapi tentang membangun fondasi kokoh bagi ketahanan
keluarga di tengah arus perubahan zaman.
Dalam
sambutannya, ia menegaskan perlunya program kerja yang lebih progresif dan
adaptif, mengingat realitas sosial yang terus berkembang. Teknologi, pergeseran
nilai, serta tantangan rumah tangga modern menuntut penghulu untuk lebih dari
sekadar saksi pernikahan—mereka harus menjadi pemandu, mediator, dan penjaga
nilai-nilai luhur dalam masyarakat. "Penghulu harus mampu menyesuaikan
diri tanpa kehilangan esensi tugasnya sebagai pembimbing dan penjaga
nilai-nilai sakral pernikahan." tegasnya, menatap para peserta dengan
penuh harap. Ruangan hening sejenak, bukan karena bosan, tetapi karena setiap
orang larut dalam kesadaran bahwa peran penghulu lebih besar dari yang sering
mereka bayangkan.
Saat
nama Hasbuna, Kepala KUA Kecamatan Rajabasa, disebut untuk memimpin do’a,
seluruh ruangan perlahan hening. Para penghulu yang semula sibuk mencatat atau
berbincang ringan kini menundukkan kepala, meresapi setiap kata yang akan
dipanjatkan. Dengan suara yang lembut namun penuh kekhusyukan, Hasbuna
mengawali do’a, memohon keberkahan, kekuatan, dan kebijaksanaan bagi para
penghulu dalam menjalankan amanah besar mereka.
Setiap
kalimat yang mengalir terasa menembus relung hati. Udara di ruangan seolah
menghangat, bukan oleh suhu, tetapi oleh getaran spiritual yang menyatukan
semua yang hadir. Ada yang memejamkan mata lebih dalam, ada yang mengepalkan
tangan di dada, seakan meresapi setiap makna dalam do’a itu. Di tengah
perubahan sosial yang begitu cepat, do’a ini bukan sekadar ritual, tetapi
harapan baru—bahwa para penghulu tetap menjadi penjaga nilai-nilai keluarga,
peradaban, dan ketahanan moral bangsa.
Saat do’a berakhir dengan lantunan amin yang bergema serempak, suasana masih terasa tenang. Seperti ada energi baru yang mengalir di dalam ruangan, mengingatkan bahwa tugas mereka bukan sekadar mencatat pernikahan, tetapi menjaga keberlangsungan sakralnya ikatan suci di tengah derasnya arus zaman.
H. Azkur dan Peran Penghulu di
Era Modern
Di
tengah derasnya arus digital dan perubahan sosial yang kian dinamis, peran
penghulu tak lagi sesederhana mencatat akad dan menuntun ijab kabul. H. Azkur,
Kepala KUA Mataram Baru, memahami betul bahwa di era modern ini, penghulu harus
melangkah lebih jauh, lebih dalam. “Kita bukan sekadar saksi di atas buku
nikah,” ujarnya dengan nada tegas. “Kita adalah penjaga, penuntun,
sekaligus mediator bagi pasangan yang hendak memulai hidup bersama.”
Menurutnya,
tantangan penghulu di era digital tidak hanya datang dari perubahan nilai-nilai
sosial, tetapi juga dari ekspektasi masyarakat yang semakin kompleks. Dengan
satu klik, pasangan bisa mengakses ribuan informasi tentang pernikahan, tetapi
tidak semuanya membawa pemahaman yang benar. Di sinilah penghulu harus hadir,
bukan hanya dalam seremoni, tetapi juga dalam edukasi. “Kita harus lebih
profesional, lebih dekat dengan masyarakat. Jangan hanya duduk di balik meja,
turunlah ke lapangan, bimbing mereka, beri pemahaman tentang hak dan kewajiban
dalam pernikahan,” tambahnya.
Di
era modern, penghulu bukan lagi sekadar pencatat pernikahan, tetapi juga
mediator dalam konflik rumah tangga, edukator bagi calon pasangan, serta
penjaga nilai-nilai luhur keluarga di tengah gempuran budaya instan. H. Azkur
percaya bahwa keberlanjutan ketahanan keluarga tidak hanya bergantung pada
pasangan itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana penghulu mampu mengarahkan,
membimbing, dan menjadi bagian dari solusi di tengah perubahan zaman.
Musyawarah
Wilayah (Muswil) II APRI di Lampung bukan sekadar pertemuan seremonial, tetapi
sebuah pijakan baru bagi para penghulu untuk menatap masa depan dengan lebih
sigap dan profesional. Dari diskusi yang mengalir hingga do’a yang dipanjatkan,
satu pesan utama menjadi benang merah: penghulu bukan hanya pencatat
pernikahan, tetapi penjaga ketahanan keluarga dan harmoni sosial di Indonesia.
Harapan
besar tumbuh dari forum ini. Para penghulu berkomitmen untuk terus beradaptasi
dengan perubahan zaman, memperkuat kapasitas mereka, dan lebih aktif dalam
mendampingi masyarakat. Mereka menyadari bahwa tantangan di era modern semakin
kompleks—dari angka perceraian yang meningkat hingga pergeseran nilai-nilai
pernikahan di kalangan generasi muda. Di sinilah peran penghulu semakin
krusial, bukan hanya sebagai saksi pernikahan, tetapi juga sebagai mediator,
pembimbing, dan benteng moral dalam kehidupan berkeluarga.
Muswil
ini menegaskan kembali bahwa penghulu harus selalu selangkah lebih maju, tidak
hanya memahami aturan hukum, tetapi juga dinamika sosial yang terus berubah.
Dengan semangat kebersamaan yang terjalin, para penghulu berjanji untuk menjaga
marwah profesi ini dengan lebih baik, memastikan bahwa setiap pernikahan bukan
sekadar sebuah seremoni, melainkan awal dari perjalanan hidup yang kokoh dan
penuh makna. (Wasthan)